KIMKARYAMAKMUR.COM, Pragaan – Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3A-KB) Kabupaten Sumenep pada hari Rabu (27/10/2021) melaksanakan kegiatan Penyuluhan Keluarga Berencana (KB) di Balai Penyuluhan Keluarga Berencana Kantor Kecamatan Pragaan.
Ibu Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK) Kabupaten Sumenep Nia Kurnia Fauzi mengatakan bahwa tujuan Penyuluhan Keluarga Berencana (KB) untuk mencapai keluarga yang berkualitas.
Beliau menjelaskan bahwa Pemerintah menekankan bahaya perkawinan dini, khususnya terhadap anak.
“Akibatnya membuat kemiskinan lintas generasi, anak menjadi putus sekolah, banyak pekerja anak dibawah umur,” ujarnya.
Pada kesempatan itu pula, pemateri lain Drs. H. Moh. Kadarisman, M.Si. sebagai PLT. (Pelaksana Tugas) Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan KB (DP3A-KB) Kabupaten Sumenep menjelaskan tentang definisi anak adalah mereka yang berumur 18 tahun menurut UU Nomor 35 Tahun 2014.
Ada juga yang mendefinisikan anak belum dewasa kalau belum berumur 21 tahun atau belum menikah menurut Undang Undang Hukum Perdata.
Sementara, realitas yang ada perkawinan usia dini dimana warga masyarakat menikahlah anaknya pada usia dibawah 18 tahun, Indonesia menduduki urutan nomor 2 di tingkat Asia. Sementara di tingkat dunia menduduki urutan nomor 8.
“1 dari 9 anak atau 11.12% anak berstatus kawin sebelum usia 18 tahun. Padahal usia ideal menikah menurut UU No 16/2019 yang secara fisik siap hamil dan melahirkan berada pada usia minimal 19 tahun,” ujarnya.
Lelaki yang pernah menjadi Bendahara PCNU (Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama) Sumenep ini mengatakan bahwa dampak perkawinan di usia anak bisa mengakibatkan kurangnya kesiapan fisik untuk hamil dan melahirkan, menyebabkan resiko kematian ibu dan anak saat melahirkan, menyebabkan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), penceraian, tidak sehat mental, serta resiko anak stunting.
Menurutnya, usia ideal seseorang menikah di Indonesia kalau laki-laki berusia minimal 25 tahun sedangkan perempuan pada usia 21 tahun.
“Kalau tetap dikawinkan di usia dini, dari sisi kesehatan dampak buruknya beresiko 5 (lima) kali lebih besar meninggal saat persalinan. Juga bisa berakibat kematian ibu atau anak,” jelasnya.
Dari sisi pendidikan, beliau lanjutkan, bahwa berdasarkan data, ada sebanyak 85% anak perempuan mengakhiri pendidikan setelah menikah.
Dari sisi psikologis, ada 41% kekerasan dalam rumah tangga dianggap wajar oleh pihak perempuan, yang beresiko mengalami depresi, kekerasan fisik, seksual, psikologis serta isolasi sosial.
Resiko lainnya dari kajian diri anak sendiri, bisa melahirkan dalam keadaan stunting, atau melahirkan secara prematur. Resiko kematian bayi dua kali lipat lebih besar sebelum usia satu tahun.
Selain itu beliau menjelaskan bahwa Pemerintah mencanangkan pemberian Sertifikasi Nikah dari Kantor Urusan Agama (KUA) agar tidak terjadi lagi menikah di usia dini.
Secara umum beliau gambarkan bahaya menikah di usi dini bisa menurunkan angka perceraian, pernikahan dibawah umur dan KDRT. Karena itu maka harus difahami upaya pendewasaan usia perkawinan yang berada pada usia subur umur 20 sampai 35 tahun.
Tak hanya itu, bahkan, katanya kita harus faham seribu hari pertama kehidupan.
“Setidaknya jarak dari kehamilan pertama dan kedua diatas dua tahun,” tambahnya.
Beliau juga mengungkap data pernikahan dini di Sumenep.
“Data tahun 2021 pernikahan usia dini di Kabupaten Sumenep usia dibawah 20 tahun sebanyak 1132. Di Pragaan sendiri tahun 2021 sudah mencapai 105 anak,” ungkapnya.
Karena itu maka pendidikan pendewasaan usia perkawinan menjadi sangat penting untuk ditularkan pada warga masyarakat terutama ibu-ibu rumah tangga. (Zbr/@wi).