Mengapa Sufi Dibenci Ekstremis Wahabi

oleh -9 Dilihat

Selasa, 3 Agustus 2021 Indonesia berduka. Seorang ulama harismatik

Ketua Utama Al-Khairaat Habib Saggaf Al Jufri Palu Sulawesi Tengah meninggal dunia pada usia 83 tahun.

Sebagai cucu ulama besar pendiri Al-Khairaat Al-Habib Idrus bin Salim Aljufri (Guru tua) beliau sangat disegani dan dicintai warganya, karena habib mengajarkan persatuan dan kesatuan dengan pandangan Islam yang moderat, menjaga toleransi antar umat beragama. Habib merupakan tokoh nasional yang turut serta membantu pemerintah menjaga kedamaian dan keharmonisan antar umat beragama di tanah air. Tak heran jika di akhir hidupnya, ribuan orang meluber ke jalanan mengantarkan janazah sang habib ke tempat peristirahatannya yang terakhir.

Ditengah gegap duka cita dan cuitan gugur tangis air mata di media sosial atas kepergiannya, tiba-tiba seorang ektremis wahabi bernama Wandi Ladupu mencuitkan komentar rasis menyebut “Dedengkot Sufi mati di Sulteng.” Sontak saja, warga dan Ansor mencarinya, Polsek Nuhon di Banggai Sulteng pun turun tangan mengamankan yang bersangkutan.

Timbul pertanyaan, kenapa Sufi begitu dibenci kalangan Wahabi? Padahal Sufi (sebutan bagi pengamal ilmu tashawwuf) adalah orang yang mendalami ilmu qalbu secara mendalam, syariatnya tidak keluar dari ajaran al-Quran dan Hadis. Ibadah para sufi tidak literal saja, tapi ditekankan pada substansi kedalaman hati. Karena tidak literal inilah sebagian orang yang tidak mampu menjangkau secara rasional tindakan batin sufi, menganggap kalangan sufi sesat atau layak dijauhi.

Meskipun terminologi tasawuf dan sufi belum ada di zaman nabi dan sahabat, tapi praktik tasawuf dan perilaku sufistik itu sesungguhnya sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Sufi itu hakikatnya suci hatinya bersih tindakannya. Praktik ajaran sufi tetap  bersumber dari Alquran dan sunnah Rasulillah.

Sufi pada perkembangnnya tidak hanya digunakan untuk penguatan batin individu, tapi sebagai metodologi dakwah yang menyentuh sisi humanisme kemanusiaan. Menurut Imam Al-Ghazali, Sufi adalah orang yang menjaga perilakunya untuk senantiasa taat kepada Allah lahir dan batin, serta bermasyarakat dengan kepedulian terhadap sesama dan alam sekitar.

Inovasi Kecamatan Pragaan

Konon dakwah para Wali Songo dapat mengislamkan nusantara tanpa setetespun darah karena dakwahnya kental dengan nuansa sufistik dzauq (rasa) yang menyentuh sisi terdalam jiwa batin manusia Indonesia. Sarananya menggunakan budaya, caranya memakai tasawuf.

Sufi adalah bahan baku sejarah yang tidak dapat dipisahkan dari ruh jiwa Indonesia. Sehingga tak heran jika sampai saat ini umat Islam di Indonesia masih lekat dengan sikap-sikap sufistik. Penghormatan warga kepada orang-orang mulia seperti ulama sufi dan ulama yang mempunyai keistimewaan atau karomah masih lestari, baik mereka yang sudah meninggal maupun yang masih hidup. Ini berkat ajaran sufi.

Ajaran sufi pada titik tertentu memang seolah tak  terjangkau akal dan pikiran, tapi sesungguhnya tak ada yang keluar dari syariat. Selain itu, semua hal memerlukan sentuhan sufi untuk menjiwai bahkan mewarnai hidupnya. Bahkan seorang pemimpin kalau ingin baik harus ada sentuhan sufi, karena pemimpin kata hadis adalah bayangan Allah di bumi.  Pemimpin ideal harus selalu terkoneksi dengan Allah lahir batin, sehingga kebijakannya bisa humanis sesuai kehendak ilahi.

Jiwa sufi juga diperlukan agar kita tidak mudah mengkritik orang lain sebelum matang jiwanya sendiri. Mengoreksi orang lain dengan tujuan meninggikan diri sendiri sebetulnya bagian dari nafsu. Maka, jadilah korektor yang baik bagi diri sendiri. Prinsip para sufi dari dulu ‘Keras kepada diri sendiri namun toleran kepada orang lain’.

Saat Wahabi berkuasa di Arab Saudi, ulama yang dijadikan target operasi untuk dihancurkan adalah ulama-ulama sufi. Karena dari sisi amaliyah, sufi dianggap menyuburkan kemusyrikan. Sufi dianggap menyembah kuburan, bahkan kuburan nabipun mau dibongkar dengan alasan agar tidak disembah. Padahal Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah dari abad pertama sampai abad kedelapan sebelum datangnya Ibnu Taimiyah telah bersepakat bolehnya tawassul, bertabarruk dengan orang shaleh apalagi kepada nabi Agung Nabi Muhammad SAW.

Seorang perwira Yahudi Inggris bernama Edward Terrece Lawrence yang dikenal dengan Laurens of Arabian di zaman kejayaan Muhammad Bin Abdul Wahab melakukan penelitian, dan menemukan hasil yang mengejutkan bahwa kekuatan Islam ada pada kekuatan bermadzhab dan istiqamah pada ajaran tariqat tasawuf. Sehingga Pemerintah Saudi menguatkan satu doktrin Wahabi dan menghancurkan situs budaya Islam mengatasnamakan pemurnian ajaran tauhid. Kalau kita membaca buku tauhid kurikulum Saudi menyebutkan bahwa kelompok Sufiyyat dianggap syirik keluar dari Islam. Orang-orang sufi dalam trilogi tauhid ala wahabi dianggap hanya percaya pada tauhid rububiyyah, tidak meyakini tauhid uluhiyyah. Sebab itulah kaum sufi dianggap kafir dan boleh dibunuh. Bahkan mereka mengatakan bahwa kafir Qurays lebih bagus tauhidnya daripada orang-orang sufi. Naudzubillah.

Peristiwa penghinaan pada tokoh sufi moderat almarhum Habib Assaqqaf Al Jufri oleh ektremis Wahabi ini makin menegaskan keyakinan kita bahwa ajaran wahabi itu kering dari inovasi dan dinamisasi. Jargon kembali pada al-qur’an dan hadis difahami literalis dan tekstualis.  Ajaran wahabi tidak akan mampu bersanding mesra dengan denyut nadi perkembangan zaman yang terus-menerus berubah dari hari ke hari.

Kritik Ahlussunnah pada Wahabi lebih ditekankan pada ideologinya, bukan orangnya. Orang Wahabinya sendiri tidak boleh dibenci berlebihan, karena mereka juga adalah bagian dari umat Nabi yang layak diayomi dan dihormati. Yang dihukum sesungghnya adalah perbuatan menghinanya apalagi pada tokoh panutan, orangnya wajib dibina dan diarahkan ke jalan yang benar.

Para sufi Aswaja mengajarkan umat Islam bahwa yang paling penting dalam beragama itu adalah substansi, tapi kaum wahabian hanya sibuk pada simbol-simbol agama hitam putih, mereka sibuk menghitamkan jidat, melebatkan jenggot dan mengenakan celana cingkrang di atas mata kaki, tapi abai pada nilai-nilai kemanusiaan untuk hidup rukun, bersama bergandeng tangan dalam aneka keragaman suku dan agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Terakhir, kita pantas merenungkan dalam-dalam perkataan seorang penyair sufi dunia Maulana Jalaluddin Rumi, “Kebenaran sepenuhnya bersemayam dalam Hakekat, tapi orang dungu mencarinya didalam penampakan”.

Penulis :
Zubairi El-Karim
Pegiat NU dan KIM, Dosen Stidar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.